Jumat, 05 November 2010

MENAKAR UU NO 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN RAYA (kasus raperda retribusi daerah Kota Surakarta) Oleh : Agustaf twoham



Seperti apa  yang dituangkan pada konsideran dari UU ini esensinya sangat komprehensif,termasuk untuk penataan atau pengaturan ruang jalan kota,ketertiban jalan raya ,keselamatan pengguna jalan dsb (baca UU no 22 th 2009).Ada beberapa daerah yang mencoba untuk melakukan loby kepada pemerintah pusat untuk meminta pengecualian,seperti yang dilakukan DPRD kota Surakarta baru baru ini yang hasilnya tidak seperti yang diharapkan alias ditolak.Dan kesimpulannya harus mentaati UU tersebut.,namun nampaknya usaha untuk meminta pengecualian itu masih akan dilakukan konsultasi lagi ke Kementrian Perhubungan.Pertanyaannya mengapa begitu getolnya Pansus Raperda  DPRD Kota Surakarta   dengan UU No 22 tahun 2009 ini .????

KEPENTINGAN EKONOMI POLITIK
Berbicara masalah ekonomi politik,adalah membicarakan SIAPA MEMPEROLEH APA DAN SIAPA KEHILANGAN APA,inilah yang menjadi kegusaran atau boleh saya katakana lebih operasional lagi yaitu kegagapan para wakil rakyat di kota Solo ini dengan pemberlakuan UU NO 22 Tahun 2009 yang sudah dipastikan akan terjadi resistensi dari rakyat (red ::konsituennya ???).yaah…saya kira ini lumrah dan maklum kalau para wakil rakyat ini cukup berpikir keras bagaimana memperjuangkan kepentingan konsituenmya (maaf begitu saja istilah saya).
Secara teorinya ekonomi politik itu adalah bahwa ekonomi tidak akan seratus persen bebas nilai,pasti ada kepentingan kepentingan nah dari sinilah akhirnya bargaining bargaining politik menjadi mengemuka di tingkat local.
Esensi dari UU NO 22 tahun 2009 ini sebenarnya dalam konsiderannya cukup mengakomodasi tentang kepentingan ekonomi ,karena jalan adalah sebagai sarana roda perekonomian secara makro..Namun menjadi lain ketika pada klausul klausul yang mengatur misalnya larangan parkir dijalan milik pemerintah,seperti jalan nasional,jalan provinsi ini yang menyeret implikasi ekonomis terhadap pengais rejeki dari hasil parker,baik pemerintah sebagai sumber PAD dan masyarakat sebagai pekerja parkir yang mencari makan dari sana.

KASUS DI KOTA SOLO DAN KOTA LAIN
Berdasarkan criteria diatas,maka cukup banyak potensi atau ruang parkir yang selama ini digunakan akan hilang alias dilarang untuk parkir.Sumber yang saya peroleh untuk jalan nasional saja akan kehilangan  7 (tujuh) ruas jalan,dan jalan provinsi sebanyak 10 (sepuluh) ruas jalan (dalam Solopos 6 nop 2010).Lahan ini selama ini potensi ekonomisnya akan hilang,siapa yang merasakan..pasti saja Pemkot sebagai sumberPAD dan para jukir sebagai ladang mencari rejeki untuk menghidupi keluarganya……cukup pusing ya..????
Menurut laporan Pansus yang menangani masalah ini, kota Solo sudah terlanjur menggunakan jalur jalan sebagai kegiatan ekonomi(parkir),artinya jalan  bukan sebagai fungsi yang semestinya.Sebagai perbandingan,seperti di kota Tanggerang semua toko yang berada di ruas jalan  harus merelakan lahannya untuk diundurkan minimal 10 meter  untuk pelayanan parkir.,inilah katanya yang sulit bila dilaksanakan di kota Solo,karena semua ruas jalan sudah  untuk parkir ( ini belum yang digunakan sebagai titik reklame billboard raksasa) cukup menyita ruang public..

TANGIBLE DAN INTANGIBLE COST NYA
Tangible cost nya
Sayangnya saya kurang punya akses untuk mencari data tentang berapa pendapatan dari retribusi parkir ini,namun seberapapun, hilangnya kontribusi PAD dari sector ini pasti cukup signifikan,berdasarkan inventarisasi dari Dishub kalau UU ini diimplementasikan  lahan parkir yang hilang sekitar 80 %,bisa dibayangkan apa dampaknya….pengangguran jukir berapa besarnya dan bagaimana pemkot mencari solusi untuk alih profesi terhadap mereka,saya membayangkan ini tidak semudah membalik tangan.
Intangible cost nya
Problem ini yang saya kira akan cukup membawa implikasi yang cukup krusial,karena ini costnya tidak diukur secara material,namun akan bersinggungan dengan kepentingan yang cukup kompleks seperti :
1.Kalau pemkot dan legislatifnya tidak bisa mencarikan solusi dan paling tidak mensosialisasikan kepada pihak yang berkepentingan,baik kepada pekerja parkir yang kehilangan lahan pekerjaan,dan pengguna fasilitas parkir pasti akan kesulitan akses untuk parkir.dan kemudian bagi penyedia jasa /pemilik usaha akan sepi karena sulitnya akses parkir..Beayanya adalah tudingan masalah keberpihakan yang tidak ada dari pemkot,aspirasi yang harus diperjuangkan kepada  konsituen dari masing masing politisi..
2.Keresahan social akibat timbulnya pengangguran,meskipun proporsinya tidak begitu besar secara kwantitatif,namun secara kwalitatif konflik politisnya cukup menjadi perhatian.. Pengalaman selama ini keresahan social akibat kesenjangan ekonomi akan memicu  masalah social dan bisa berlaut larut kalau tidak segera ditanggapi..
PANTANG MUDUR
Pansus DPRD (Pansus Raperda Retribusi Daerah) nampaknya tidak pantang mundur,konon akan dilanjutkan dengan konsultasi lagi yang kali ini dengan Departemen Perhubungan untuk meminta pengecualian,setelah konsultasi yang pertama kepada Kementrian Keuangan ditolak.
Semoga berhasil,dan bisa memberikan argument yang jelas tegas dan jujur ( pinjem istilahnya Pong harjatmo).dari” Mas agak gundul sedikit,” Nop 2010.Sekian,mohon maaf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar