Minggu, 18 April 2010

GAYA HIDUP.

  • Vegan, Meraih Daya Hidup

    Tresiaty Pohe gesit seperti bola bekel. Perempuan ini juga tampil bercahaya dengan tubuh langsing dan kulit kencang. Padahal, "Ssst..., umur saya sudah hampir 60 tahun, lo," kata nenek tujuh cucu ini.
    Layaknya iklan baterai yang terus bertenaga, aktivitas Tresiaty sebagai dokter bedah plastik di Rumah Sakit Siloam, Tangerang, tak pernah kendur. Mengobati pasien, menyelenggarakan seminar, kegiatan gereja, dia lakoni dari pagi sampai jauh malam. "Berdiri 10 jam nonstop untuk operasi besar juga enteng saja," katanya saat ditemui TEMPO pekan lalu. Saking sibuknya, dua orang asisten Tresiaty mengeluh kerepotan mengikuti padatnya jadwal sang majikan.
    Tresiaty membagikan jurus spesial agar tetap bugar. "Jadilah vegan," katanya. Seorang vegan, dia menjelaskan, menjauhi segala macam makanan yang mengandung unsur hewani. Bukan hanya daging, aneka rupa produk turunan hewani?misalnya susu, keju, telur, mentega, krim, yogurt?juga harus diberi ucapan sayonara. Sayur dan buah-buahan, itulah santapan kaum vegan.
    Sesungguhnya, semangat kaum vegan serupa dengan vegetarian. Keduanya sama-sama menghargai hewan. Mereka tidak mau kehidupan para hewan?ternak atau bukan?sengaja dimanipulasi dan dirampas untuk dijadikan makanan. Perut manusia toh bukan kuburan tempat bangkai kambing, ayam, sapi, ikan, menumpuk jadi satu.
    Bedanya, kaum vegan menghindari semua jenis dairy product dan acara masak-memasak. Buah dan sayur sebisa mungkin disantap dalam kondisi mentah lagi segar. Kalaupun terpaksa dimasak, sayur cukup dikukus atau ditumis ala kadarnya. Aneka zat kimia seperti penyedap, pengawet, pengembang, pewarna, juga dijauhkan dari makanan. Segala langkah ini demi menjaga keutuhan enzim, vitamin, dan nutrisi lain yang ada pada sayur dan buah.
    Proses memasak, apalagi penggorengan sampai ratusan derajat Celsius, sudah pasti merusak segala jenis enzim, vitamin, dan protein yang berguna bagi tubuh. Sayur yang telah dimasak pun akhirnya cuma jadi dead food, makanan mati. "Makanan seperti ini cuma mengenyangkan perut tetapi tidak memberikan daya hidup," kata Tresiaty.
    Di dunia, istilah vegan sendiri baru dimunculkan oleh Donald Watson, anggota Vegetarian Society di Leicester, Inggris, pada 1944. Kala itu Watson mengajukan proposal pembentukan satu sayap Vegetarian Society yang sama sekali menolak dairy product. Proposal ini ditolak karena dianggap kelewat radikal. Lagi pula, jika manusia semata-mata makan tetumbuhan, para ahli bakal dibuat repot menyusun ulang posisi manusia dalam rantai makanan.
    Akhirnya Watson dan kawan-kawan yang sealiran mendirikan The Vegan Society. Aliran ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia dengan tokoh panutan seperti Benjamin Zephaniah, penyair, dan Wendy Turner, presenter televisi.
    Tidak sekadar berhenti pada pola diet, veganisme memang melebar hingga menjadi gaya hidup yang bernuansa ideologis. Untuk menjadi anggota American Vegan Society, misalnya, seseorang harus memenuhi persyaratan: tak boleh memakai jaket, tas, dan sepatu kulit binatang. Wajib pula menghindari penggunaan sabun, sampo, kosmetik, yang mengandung lemak hewani atau diujicobakan kepada hewan.
    Veganisme terus berkembang dalam beragam variasi. Sebagian orang menggunakan keyakinan agama, seperti Hindu dan Advent, sebagai alasan untuk bervegan-ria. Sebagian lainnya menggunakan kesehatan sebagai alasan utama. Kelompok terakhir ini biasanya cuma mengadopsi pola diet vegan yang serba hijau. Tas kulit buaya, sepatu kulit lembu, jaket kulit ular kobra, sayang dong, jika ditinggalkan. Termasuk dalam kelompok ini adalah jajaran selebriti Alicia Silverstone, Lindsay Wagner, Boy George, dan Carl Lewis.
    Indonesia juga tidak luput dari kepak sayap vegan. Pada tahun 2000, organisasi The Indonesian Vegan Society (IVS) resmi didirikan. "Kami memang tidak tahu pasti berapa jumlah penganut vegan di Indonesia," tulis Vandayani Dewi, pengelola situs www.i-v-s.org. Belakangan, situs ini diramaikan oleh 1.000 anggota yang sebagian besar adalah ekspatriat atau pelancong mancanegara yang sedang mampir ke Indonesia.
    Tresiaty Pohe, tokoh di awal tulisan ini, memang bukan anggota The Indonesian Vegan Society. Namun Tresiaty inilah salah satu aktor penting penyebar gaya hidup vegan di negeri ini. "Saya kampanye vegan karena sudah merasakan sendiri khasiatnya," katanya.
    Empat tahun lalu, kondisi Tresiaty jauh dari bugar. Jantung koroner, maag kronis, radang persendian, migrain, hipertensi, adalah deretan keluhannya. Obat gosok dan sekantong obat-obatan selalu menemani ke mana pun dia pergi. Tidak jarang Tresiaty merasakan kesakitan dan kecemasan yang luar biasa. "Seperti mau mati," katanya.
    Letih didera aneka penyakit, Tresiaty menjajal diet vegan secara radikal. Hanya sayur dan buah mentah yang dia santap dalam jumlah besar. "Hanya dalam tempo sebulan, semua keluhan lenyap," kata Tresiaty. Tekanan darah meluncur turun ke level normal, pegal linu hilang, pusing menguap. Tubuh jauh lebih bugar. Kantong berisi obat-obatan pun disingkirkan.
    Memang, ada efek tak nyaman yang dirasakan pada hari-hari pertama berdiet vegan. Tresiaty, misalnya, mengalami demam, menggigil, dan pusing hebat. Semua ini adalah pertanda keluarnya zat-zat racun (detoksifikasi) yang selama ini mengendap di dalam tubuh. Perlahan-lahan, efek samping menghilang dan tubuh jadi terbiasa dengan sayur dan buah segar. Sekarang, "Saya malah pusing kalau terpaksa menyantap makanan non-vegan," kata Tresiaty.
    Berbekal pengalaman pribadi, Tresiaty kemudian mempelajari dengan serius serba-serbi diet vegan. Kemudian, pada 2001, klinik "Diet Center" didirikan Tresiaty di Modernland, Tangerang, yang sepenuhnya bersandar pada metode diet vegan.
    Pasien klinik ini juga yang kemudian turut serta mengkampanyekan gaya hidup sayur dan buah. Pendeta Timotius Budiman, misalnya, berdiet vegan sejak setengah tahun lalu. "Berat badan saya turun dari 99 menjadi 85 kilo," katanya bangga. Budiman juga lepas dari obat-obatan pereda hipertensi, diabetes, dan pusing, yang selama bertahun-tahun dia konsumsi. Sukses ini membuat Budiman bersemangat menularkan veganisme kepada jemaat gereja serta kawan-kerabatnya.
    Selain membuka klinik, Tresiaty juga rutin menggelar seminar tentang veganisme. Pekan lalu seminar digelar di Hotel Mercure Rekso, Jakarta, dan dihadiri 500-an peserta. Rani, seorang ibu rumah tangga peserta seminar, tertarik ingin hidup sehat ala vegan. Hanya, agak repot jika dia mesti menganut gaya hidup vegan secara menyeluruh. "Saya pilih jadi fleksitarian dulu, deh," katanya sambil tersenyum, "Fleksibel aja."
    Sebisa mungkin, Rani berjanji akan menerapkan veganisme dengan aneka jus jambu-tomat-wortel-semangka-sawi-bayam. Tapi, bolehlah sekali-sekali membelot. Katanya jujur, "Mana bisa tahan kalau ada kawan yang nraktir sate kambing yang mak nyus?"
    Mardiyah Chamim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar