Senin, 17 Mei 2010

APMCHUD ke-3 2010

Solo, 22-24 Juni, 2010

Tema:
Pemberdayaan Komunitas untuk Urbanisasi Berkelanjutan

Negara-negara kawasan Asia Pasifik, dalam dekade terakhir mengalami urbanisasi yang meningkat pesat di mana di dalamnya terdapat tantangan yang kompleks untuk perencana kota. Merujuk pada APMCHUD, sebelas dari kota-kota megapolitan di dunia yang memiliki populasi lebih dari 10 juta orang berlokasi di Asia. Pertumbuhan perkotaan diproyeksi akan meningkat dua kali lipat dari 3,3 milyar pada 2007 menjadi 6,4 milyar pada 2050. Sebagian besar dari pertumbuhan ini akan berlangsung di negara berkembang.
Pada kota-kota tersebut, diperkirakan 43 % dari penghuni kota akan bertempat tinggal di daerah kumuh. Diperkirakan pada 2020, populasi penduduk kumuh dunia akan mencapai 1,4 milyar atau satu dari dua warga daerah kumuh akan bertempat tinggal di Asia.
Urbanisasi yang meningkat berkontribusi lebih jauh terhadap emisi buatan manusia, khususnya dari konsumsi energi, aktivitas industri dan transportasi. Menurut PBB, sekitar 50 % dari populasi dunia tinggal di kota (diprediksikan akan meningkat menjadi 60* pada 2030), mereka juga bertanggung jawab atas 75 % penggunaan energi. Tren peningkatan urbanisasi dan konsumsi energi ini akan meningkat secara signifikan di masa depan.
Pada 2007, IPCC secara resmi menemukan bahwa pemanasan global yang disebabkan oleh aktivitas manusia sedang berlangsung. Jika komunitas internasional terus melanjutkan perilaku bisnis seperti biasa, temperatur global akan meningkat lebih dari dua derajad Celcius pada 2050 di mana bencana alam dengan dampak katastropik/menghancurkan akan muncul.
Terkait dengan hal tersebut, kota padat penduduk rentan terhadap dampak dari perubahan iklim. Naiknya level permukaan laut akan mempengaruhi rumah tangga masyarakat, khususnya komunitas pesisir dan persediaan air besih, sementara naiknya temperatur di kota menyebabkan lingkungan yang berbahaya bagi masyarakatnya. Dengan demikian, kota-kota berada pada baris terdepan dalam perang global melawan perubahan iklim. Perkembangan kota-kota dan isu perubahan iklim merupakan saling terkait satu dengan lainnya. Urbanisasi yang tumbuh dengan cepat di perkotaan akan berdampak pada perubahan iklim, dan juga sebaliknya, perubahan iklim akan memberikan tekanan dan kendala bagi perkotaan.
Permasalahan yang diakibatkan oleh perubahan iklim akan mempengaruhi usaha-usaha negara-negara di kawasan Asia Pasifik dalam mencapai Millenium Development Golas (MDGs), khususnya target pengurangan angka kemiskinan hingga 50 % sampai tahun 2015. Saat ini, kondisi tersebut diperparah dengan adanya krisis pangan, bahan bakar, dan ekonomi yang sedang melanda dunia.
Aspek penting lainnya ialah fakta bahwa kota-kota di dunia mempunyai karakteristik yang berbeda, tidak hanya antar negara, namun juga kota-kota yang ada dalam suatu negara. Secara teori, kota yang berbeda akan menghadapi tipe permasalahan lingkungan yang berbeda pula, termasuk kebijakan yang berbeda dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Dalam hubungannya dengan perubahan iklim, salah satu aspek pentingnya adalah isu adaptasi teknologi dan mitigasi bencana. Hal ini disadari, kota dan masyarakatnya dapat berperan penting dalam adaptasi sehingga ancaman terhadap perubahan iklim dapat diminimalisasi.
Badan PBB yang berurusan dengan program lingkungan ? The United Nations Environmental Program (UNEP) saat ini sedang mengembangkan Jejaring Global untuk Adaptasi (Global Network on Adaptation). Sementara itu di skala nasional, Konferensi Perubahan Iklim PBB ? UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) meminta kepada negara-negara untuk mengembangkan suatu Rencana Tindak Nasional mengenai Adaptasi ? National Action Plan on Adaptation (NAPA). Pada konteks ini, kota-kota di suatu negara dapat berperan aktif mengembangkan cetak biru (blueprint) NAPA untuk wilayah mereka masing-masing.
Dengan mempertimbangkan sifat-sifat yang berbeda di antara kota-kota, ukuran adaptasi akan bervariasi antara kota di pesisir dengan di pedalaman. Studi terbaru menunjukkan bahwa 360 juta penduduk tinggal di daerah perkotaan dengan ketinggian kurang dari 10 mdpl, membuat mereka menjadi rentan terhadap kenaikan permukaan laut dan dampak iklim lainnya. Dengan demikian, terdapat kebutuhan untuk mengadakan penilaian kebutuhan yang berbasis pada keragaman kota-kota.
Kelompok lain yang merupakan kelompok paling rentan terhadap dampak perubahan ikim adalah kelompok Negara Pulau Kecil Berkembang yang sebagian besar berlokasi di kawasan Pasifik. Situasi ini menjadi lebih parah dengan adanya krisis pangan dan energi ditambah dengan krisis ekonomi global akhir-akhir ini.
Dan juga seperti sudah diatur dalam Artikel UNFCC 4.8, perhatian perlu diberikan, terutama kepada negara pulau kecil, negara dengan daerah pesisir yang rendah, dan negara dengan wilayah perkotaan yang tinggi polusi dibandingkan dengan yang lainnya.
Menyadari adanya fakta bahwa kemiskinan dalam hal ini berupa pendapatan, kesehatan, dan pendidikan rendah serta minimnya akses terhadap kebutuhan dasar, minimnya pengetahuan dan komunikasi yang banyak ditemui di Asia Pasifik adalah dasar dari pembentukan APMCHUD, maka sangat penting untuk meningkatan pemberdayaan masyarakat mengenai urbanisasi berkelanjutan, khususnya di tengah-tengah perubahan iklim dan krisi ekonomi global yang tidak pernah menjadi sepenting ini.
Untuk di Indonesia, Pemberdayaan masyarakat telah diimplementasikan sejak lama dan terdapat beberapa praktek terbaik yang dapat dibagi dengan Negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik, seperti sebagai berikut:


  • Pemberdayaan masyarakat dalam hal peningkatan kawasan kumuh dengan memperbaiki infrastruktur perumahan local, kondisi ekonomi local, dan sumber daya manusia local melalui Program Perbaikan Kampung.
  • Pemberdayaan masyarakat merespon krisis ekonomi global melali peningkatan pendapatan masyarakat dan penciptaan peluang kerja bagi masyarakat local. Pemberdayaan masyarakat dengan model seperti ini telah dipraktekkan di seluruh Indonesia melalui program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri
  • Pemberdayaan masyarakat dalam hal penyediaan infrastruktur dasar bagi masyarakat, seperti penyediaan air (Program Pamsimas) dan Sanitasi (SANIMAS Program). Program-program ini dilaksanakan di 110 kota yang mencakup 5.000 desa di negeri ini.
  • Pemberdayaan masyarakat dalam proses perencanaan lokal dan pembangunan infrastruktur dengan meningkatkan Investasi Jangka Menengah dan Perencanaan Pembangunan, atau RPIJM, yang menggabungkan investasi dan rencana pembangunan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat.
  • Pemberdayaan masyarakat dalam hal penanggulangan perubahan iklim melalui promosi kesadaran masyarakat dan kampanye mengenai sanitasi dan pengelolaan limbah padat dengan konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle).
Peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam hal pembangunan perumahan dan perkotaan akan memerlukan dukungan manajemen pengetahuan dalam hal perumahan dan pembangunan perkotaan dan pembangunan kapasitas pemangku kepentingan terkait.
© APMCHUD 2010. All Rights Reserved.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar