Senin, 03 Mei 2010

ADAKAH SUDUT SEPERTI DI SOSROWIJAYAN DI KOTA SOLO



Meniru yang sudah baik sah saja

Bagaimana Kepariwisataan di kota solo maju seperti di yogyakarta

Kalau dihitung dari potensinya ,baik asset budayanya,atraksinya saya kira solo tidak begitu kalah ,tetapi mengapa ketika pertanyaan kepada kunjungan wisatanya utamanya wisatawan asing kota solo tidak atau kurang menarik diminati oleh wisatawan asing yang sudah berkunjung ke yogya.
Padahal dari letak geografis dan kemudahan akses saya kira buka menjadi permasalahan,artinya jarak itu tidak begitu jauh.Tetapi mengapa pertanyaan yang muncul kembali adalah kunjungan itu kurang diminati oleh wistawan (red:wisman).Padahaldari segi karakter budayanya tidak begitu berbeda dan bahkan mirip dalam arti ikon budaya jawanya.
Ini saya kira menjadi sebuah pertanyaan dan permasalahan yang harus segera dicari solusi untuk upaya menjual daya tarik wisata yang ada di kota solo.Untuk mengantarkan kepada anilis ini nantinya,mari kita coba mencermati dahulu arti atau definisi dari pariwisata itu dari banyak literature tau konsep.teori,yaitu bahwa pariwisata adalah “ perjalanan atau perpindahan manusia dari tempat asalnya ketempat yangmereka tuju yang bersifat sementara dan dalam perjalanannya itu mereka ingin mencari kesenangan”disamping juga ingin mengetahui sesuatu yang belum pernah mereka lihat.
Jadi dengan demikian,kalau definisinya seperti itu,maka kata kunci dari pariwisata adalah produknya bahkan mungkin place nya ( mengacu sedikit dari prinsip dari pemasaran).
Kasus yogya sebagai sebuah pardigma,mengapa disana menjadi the real destination,sedangkan di solo belum seperti itu.Alasan ini bisa saya pertahankan bahwa kondisinya sedemikian itu apabila kita menengok tingkat kunjungan wisatanya dan bahkan menurut data yang ada.tingkat lama tinggal para turis di hotel hanya berkisar dibawah 2 hari ( 1,3 hari ).Ini artinya para turis asing itu tidak betah lama tinggal di kota solo.
Pertanyaannya kembali adalah mengapa,bahkan walikota solo yang sekarang ini (jokowi) sudah berusaha matia matian untuk mem branding kotanya agar dikenal dan mempunyai positioning,memang banyak event event, baik yang berskala lokal nasional bahkan internasional dan mewujudkan sebagai kota MICE agar dapat dikunjungi,namun sifatnya hal itu hanya temporer saja.Obyek wisata kuliner dan atraksi atraksi wisata serta obyek obyek wisata sudah dikembangkan seperti kampoeng batik di laweyan,kauman ,masih saja belum memiliki magnet yang cukup kuat dan bisa menjual.

DISKRIPSI KEPARIWISATAAN DI KOTA SOLO BEDANYA DENGAN DI YOGYAKARTA

1.wajah pariwisata di kota solo

Sebetulnya brand yang disandang sama dengan Yogyakarta yaitu event budaya,tetapi
Mengapa solo beda (tidak laku),bahkan diakui oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Solo purnomo Subagyo,bahwa Event do Solo belum diminati buyer (Solopos 3 Mei 2010).Lebih lanjut dia mengatakan ketika dilakukan evaluasi penyelenggaraan BTM (Bengawan Travel Mart) ternyata event seperti Solo Batik Carnival SBC, SIEM Solo etnic music belum begitu menarik bagi buyer dan mereka menganggap event tersebut adalah agenda yang sifatnya individual.Tetapi menurut saya dari hasil evaluasi penyelenggaraan BTM tersebut dan bahkan kegiatan ini dilakukan secara rutin hasilnya tetap saja tidak menjual bagi kepariwisataan di solo jadi kalau akhirnya terus.mengkambing hitamkan bahwa event yang ada masih bersifat individual yang artinya tidak marketable saya kira kurang fair ,banyak variabel yang menyebabkan pariwisata di Solo nyaris kurang terdengar atau tercium..Pariwisata harus dimaknai sebagai sebuah industri,dan ini tentu saja akan mengkait beberapa hal seperti produksinya,price nya,dan bahkan tidak kalah penting adalah pemasarannya.Keterlibatan dan rasa ikut mengembangkan pada diri masyarakat perlu dibudayakan dari sejak dini,dan itupun mungkin juga akan tidak berjalan apabila dari hasil pariwisata itu tidak membawa pada ekspektasi ekonomi pada masyarakat.
Potensinya sebenarnya sudah cukup hanya tinggal bagaimana mengelolanya,ini perlu keterlibatan seluruh stake holders kota,pelaku pariwisatanya dan lain sebagainya..Fungsi pemerintah kota dalam hal ini harus bersifatsebagai mediator dengan peran intervensi kepada masalah pemasarannya,sedangkan kreativitas mutlak pada pelaku usaha pariwisata.Ingat contoh di Bali ,seperti ”DOGER” dengan produk souvenirnya sudah bisa membranded bali,kemudian yogya dengan ”dagadu”nya juga demikian..Sehingga kalau event event bagus yang digelar di kota solo tidak terjual (red: menjual) sangat tidak beralasan,justru kreativitas dari individu /masyarakatlah yang harus didorong..

Beberapa faktor yang mungkin solo kalah jauh dengan yogya adalah sbb:

  1. Masyarakatnya sepertinya kurang welcome dengan wisatawan,hal ini seperti yang dijelaskan dimuka bahwa pariwisata di solo tidak bisa memberikan ekspektasi ekonomi bagi masyarakat
  2. Terus terang ini kritik terhadap Walikota Solo yang gencar mengenalkan SBC solo batik karnival.event ini bukan roh atau nafas budaya solo kalau dikaitkan dengan semboyan atau apa istilah lainnya bahwa solo adalah the spirit of java.SBC menurut saya bukan spirit java,dan kalau mau jujur SBC itu kan terinspirasi oleh suksesnya carnaval di jember,hanya saja kalau disini dikemas dengan ikon batiknya.,kemudian event event seperti SIEM SIPA,ternyata juga belum mampu menjadi magnet bagi pariwisata di kota solo.
  3. Budaya lokal yang menggambarkan wujud aslinya solo belum tergali dengan baik,ini sangat penting bila kita ingin menunjukkan komparasinya dengan daerah lain.
  4. Obyek dan daya tarik wisatanya belum terkemas dengan baik sebagai sebuah industri pariwisata.,sekali lagi ini perlu melibatkan para pelaku budaya/wisata untuk bersama menyusun formula agar kualitas dan kuantitasnya semakin bervariasi dan menunjukkan solo yang sebenarnya.
  5. Intervensi pemerintah kota melalui APBD nya harus lebih memberikan proporsi yang prioritas bagi pengembangan pariwisata di kota solo.(menurut catatan porsi APBD untuk sektor pariwisata ini kurang memadahi
  6. Ini mungkin yang paling terpenting,yaitu .masalah stigma negatif sebagai kota yang kurang aman,konkritnya cap sarang teroris ini sangat merugikan dan tidak akan pernah hilang dari bayangan dibenak para wisatawan apalagi dari eropa, amerika dsb.Sehingga perlu kemuar anggaran dari pemerimtah kota untuk menyelenggarakan semacam travel mart,fam trip sebagai upaya pengembalian atau membangun citra.Arahkan bahwa wisata di solo dengan ikon budaya itu bisa mengarahkan empati kepada wisatawan,dan perlu dirintis konsep wisata yang eksotis.Ini sudah terbukti di banyak daerah seperti Bali,Yogya,mereka menjual eksotismenya dalam menarik wisatawan.

BAGAIMANA DI YOGYAKARTA ,BALI DAN NTB

Kalau kita pernah kesana kesan kita pasti merasakan ada eksotisme dalam setiap suasananya,sikap toleransi yang cukup tinggi terhadap keinginan (baca: tentang sesuatu yang mereka ingin cari),ingat mereka telah membayar cukup banyak untuk sampai disana,toleransi ini tentu jangan diartikan kita menjual diri,masih ada kisi kisi yang harus mereka taati tentunya.
Sebagai contoh sikap masyarakat yang welcome dan tidak main sweeping dan bahkan mereka mau membaur dalam arti melayani,ini sangat positif dalam konteks pelayanan.Sebagai contoj lagi seorang penjual souvenir,tukang becak yang mau belajar bahasa inggris ini menjadi modal sosial dalam kepariwisataan,dan ini tentu saja arena mereka mengaharapkan adanya manfaat secara ekonomis sebagai sebuah profesi.
Dan tentu saja bukan hal seperti diatas saja,itu tidak cukup,pemerintah juga sebagai peran fasilitator mau menggandeng dan konsisiten memberikan pelatihan pelatihan sebacam ”becak maner” dsb.
Dan tentu saja suasana eksotis disana sudah tercipta,ini penting karena secara psikologis sebenarnya yang mereka (wisatawan) cari adalah eksotisme daerah yang mereka kunjungi.Itu mungkin yang bisa digambarkan tentang suasana distination yang sudah siap sebagai daerah tujuan wisata. ( maaf kalau di Solo ini masih bisa dikatakan sebagai daerah ampiran) dan itupun mungkin mereka kecewa.(terukti dalam ajang BTM,buyer kurang berminat)

SEKARANG BAGAIMANA KITA BISA MENYAMAI MEREKA.

Saya kira dengan strategi meniru adalah tidak begitu salah dan sah sah saj,misalnya ciptakan kantong kantong turis yang mereka tidak merasa terganggu privasinya.Seperti kalau di Yogya adalah di Sosrowijayan,Kuta di Bali ,biarakan turis menjadi raja disitu dengan tanpa merugikan privasi ataupun eksistensi kita kalau ini diartikan sebagai melacurkan pariwisata sebagai tujan mencari devisa dan memberikan effect multipier bagi masyarakat setempat.
Dorong para pelaku pariwisata untuk kreatif syukur syukur mereka bisa membranded daerahnya melalui produknya seperti yang telah diuraikan diatas DOGER.DAGADU dsb.
Kita punya modal seperti kampoeng Batik laweyan dan kauman,atau mungkin ciptakan kluster kluster semacam itu agar wisatawan teratrik dan tertahan untuk menetap agak lama di solo.

PENUTUP
Jadi kesimpulannya mungkin menurut saya agar solo betul betul memiliki magnet dan keinginan wisatawan berkunjung ke solo adalah sebagai berikut :
- Buat suasana pariwisata di solo ini menjadi eksotik
- Berikan keluasaan pelaku wisata untuk berkreatif
- Gampangnya kita sudah punya daerah seperti Keprabon,biarkan mereka menjadi wilayah yang benar benar eksotis (meskipun tidak harus se vulgar di kuta misalnya)
- Ciptakan profesi guide adalah profesi yang menjajikan
- Kobsisten debga konsep SAPTA PESONA
- Pokdarwis perlu dikembangkan profesionalismenya
- Perlu kebijakan kemitraan dengan pelaku usaha,seperti restoran,hotel,kafe,diskotik yang kondusif dan memberikan diskon
- Insentif bagi para pelakudalamakses modal melalui UMKM
- Tidak ada salahnya cap solo sebagai kota yang tidak pernah tidur,ini menjadi keunggulan komparatif tersendiri
- Kembangkan budaya lokal seperti sanggar tari,event event yang unik
- Jaminan keamanan melibatkan masyarakat setempat

Demikian kira kira masukan saya yang mungkin bsa bermanfaat,latar belakang dari pemikiran ini adalah ,kenapa tidak kita berbuat seperti daerah lain yang sudah benar menjadi daerah tujuan wisata,event event kita selama ini ternyata hanya dinkmati masyarakat kita sendiri dan terbatas hanya sebagai sebuah tontonan .Prosesi budaya dari kraton dan Mangkunegaran adalah aset yang bisa menjadi tambang emas bagi pariwisata di Solo ,tinggal bagaimana kita bisa meciptakan disertivikasi dengan event tersebut.Semoga kepariwisataan kita maju dan berkembang dan muaranya akhirnya kepada tingkat kesejahteraan masyarakatnya berupa harapan harapan ekonomis. ( oleh agustav,dari lembah gua hantu,Mei 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar