Senin, 15 Februari 2010

ISTANA MANGKUNEGARAN

Puro Mangkunegaran dibangun pada tahun 1757, dua tahun setelah dilaksanakan Perundingan Gijanti yang isinya membagi pemerintahan Jawa menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kerajaan Surakarta terpisah lagi setelah Raden Mas Said memberontak.


PAMEDAN

Puro Mangkunegaran dibangun pada tahun 1757, dua tahun setelah dilaksanakan Perundingan Gijanti yang isinya membagi pemerintahan Jawa menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kerajaan Surakarta terpisah setelah Pangeran Raden Mas Said memberontak dan akhirnya atas dukungan Sunan lahirlah Perjanjian Salatiga yang isinya Pangeran Raden Mas Said diperkenankan mendirikan kerajaan sendiri. Raden Mas Said memakai gelar KGPAA Mangkunegoro I dan membangun wilayah kekuasaannya di sebelah barat tepian sungai Pepe di pusat kota yan sekarang bernama Solo.
Puro Mangkunagaran yang sebetulnya awalnya lebih tepat disebut sebagai tempat kediaman pangeran daripada istana, dibangun mengikuti model keraton tetapi bentuknya lebih kecil. Bangunan ini memiliki ciri arsitektur yang sama dengan kraton, yaitu pada keberadaan pamedan, pendopo agung, paringgitan, dalem ageng dan keputren, yang seluruhnya dikelilingi oleh tembok yang kokoh.
Seperti halnya bangunan utama di Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta, Puro Mangkunegaran mengalami beberapa perubahan selama puncak masa pemerintahan kolonial Belanda di Jawa Tengah. Perubahan ini tampak pada ciri dekorasi Eropa yang popular saat itu.
Begitu memasuki pintu gerbang utama pura tampaklah Pamedan, yaitu suatu lapangan luas tempat berlatih prajurit pasukan Mangkunegaran. Di sebelah timur lapangan pamedan dapat dijumpai bangunan bekas kantor pusat pasukan berkuda pura Mangkunegaran, yang disebut Gedung Kavaleri.

PENDOPO AGUNG
Pintu gerbang kedua membawa kita menuju halaman dalam tempat berdirinya Pendopo Agung yang berukuran 3500 meter persegi. Pendopo yang dapat menampung lima sampai sepuluh ribu orang ini, sampai sekarang masih merupakan pendopo Joglo terbesar di Indonesia. Tiang-tiang kayu berbentuk persegi yang menyangga atap joglo diambil dari pepohonan yang tumbuh di hutan Danalaya di perbukitan Wonogiri.
Seluruh bangunan Pendopo Agung didirikan tanpa menggunakan paku. Di dalam pendopo ini terdapat empat set gamelan, satu digunakan secara rutin dan tiga lainnya digunakan hanya pada upacara khusus. Warna kuning dan hijau yang mendominasi pendopo adalah warna pari anom (padi muda) warna khas keluarga Mangkunegaran. Pada langit-langit Pendopo Agung tergantung deretan lampu gantung antik.
Pada mulanya masyarakat yang hadir di pendopo duduk bersila di lantai. Kursi baru diperkenalkan pada akhir abad ke-19 waktu pemerintahan Mangkunegoro VI. Hiasan langit-langit pendopo yang bernama Kumudawati berwarna terang melambangkan astrologi Hindu-Jawa. Dibuat pada masa KGPAA Mangkoenagoro VII tahun 1937, oleh arsitek Belanda Thomas Karsten. Pada lukisan ini terdapat lambang 12 bintang dalam astrologi dan 8 kotak yang masing-masing memiliki warna dan makna yang berbeda, yaitu :
- Kuning, bermakna selalu siaga
- Biru, untuk mencegah bencana
- Hitam, untuk melawan kemarahan
- Hijau, untuk melawan stres
- Putih, untuk melawan hawa nafsu
- Orange, untuk melawan rasa takut
- Merah, untuk melawan kejahatan
- Ungu, untuk melawan pikiran jahat

NDALEM AGENG
Tepat di bagian belakang pendopo terdapat sebuah beranda terbuka, yang bernama Pringgitan, yang mempunyai tangga menuju ke Dalem Ageng, yaitu sebuah ruangan seluas sekitar 1000 meter persegi, yang secara tradisional merupakan ruang tidur bagi pengantin kerajaan, ruangan Dalem Ageng sekarang ini difungsikan sebagai museum Pura Mangkunegaran.Selain memamerkan petanen (tempat persemayaman Dewi Sri) yang berlapiskan tenunan sutera, yang menjadi pusat perhatian pengunjung, museum ini juga memamerkan perhiasan, senjata-senjata, pakaian-pakaian, medali-medali, perlengkapan wayang, uang logam, gambar raja-raja Mangkunegaran dan benda-benda seni.
Di bagian tengah Puro Mangkunegaran di belakang Dalem Ageng, terdapat tempat kediaman keluarga mangkunegaran. Tempat ini, yang masih memiliki suasana tenang bagaikan di rumah pedesaan milik para bangsawan, sekarang digunakan oleh para keluarga keturunan raja. Taman di bagian dalam yang ditumbuhi pohon-pohon yang berbunga dan semak-semak hias, juga merupakan cagar alam dengan sangkar berisi burung berkicau, patung-patung klasik model eropa, serta kupu-kupu yang berwarna-warni dengan air mancur yang bergerak-gerak dibawah sinar matahari.
Menghadap ke taman terbuka, adalah Beranda Dalem, yang bersudut delapan, dimana terdapat tempat lilin dan perabotan Eropa yang indah. Kaca-kaca berbingkai emas terpasang berjejer di dinding. Dari beranda menuju ke dalam tampak ruang makan dengan jendela kaca warna bergambar yang berisi pemandangan di Jawa, ruang ganti dan rias para putri raja, serta kamar mandi yang indah.
Sisa peninggalan yang masih tampak jelas pada saat ini adalah perpustakaan yang didirikan pada tahun 1867 oleh Mangkunegoro IV. Perpustakaan tersebut terletak dilantai dua, diatas Kantor Dinas Urusan Istana di sebelah kiri pamedan. Perpustakaan yang daun jendela kayunya dibuka lebar-lebar agar sinar matahari dapat masuk, sampai sekarang masih digunakan oleh para sejarahwan dan pelajar. Mereka dapat menemukan manuskrip yang bersampul kulit, buku-buku berbagai bahasa terutama bahasa Jawa, banyak koleksi-koleksi foto yang bersejarah dan data-data mengenai perkebunan dan milik Mangkunegaran yang lain.

MASJID MANGKUNEGARAN
Disebelah barat dipisahkan oleh jalan raya terdapat bangunan Masjid Mangkunegaran. Pendirian Masjid Mangkunegaran diprakarsai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegara I di Kadipaten Mangkunegaran sebagai masjid Lambang Panotogomo. Sebelumnya terletak di wilayah Kauman, Pasar Legi, namun pada masa MN II dipindah ke wilayah Banjarsari dengan pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat kepada Puro Mangkunegaran.
Pengelolaan masjid dilakukan oleh para abdi dalem Puro Mangkunegaran, sehingga status masjid merupakan Masjid Kagungan Dalem Puro Mangkunegaran. Pemugaran besar-besaran atas Masjid Mangkunegaran terjadi pada saat pemerintahan MN VII, pada saat itu MN VII meminta seorang Arsitek dari Perancis untuk ikut serta mendesain bentuk masjid ini. Luas Kompleks masjid sekitar 4200 m2 dengan batas pagar tembok keliling sebagian besar berbentuk lengkung.
Masjid Mangkunegaran terdiri dari :
- Serambi, merupakan ruangan depan masjid dengan saka sebanyak 18 yang melambangkan umur RM. Said ketika keluar dari Keraton Kasunanan Surakarta untuk dinobatkan sebagai Adipati Mangkunegaran. Di serambi terdapat bedug yang bernama Kanjeng Kyai Danaswara.
- Ruang Shollat Utama merupakan ruang dalam dengan 4 soko guru dan 12 penyangga pembantu yang berhias huruf kaligrafi Al-qur’an.
- Pawestren, merupakan bangunan tambahan yang dipergunakan untuk tempat sholat khusus wanita.
- Maligin, dibangun atas prakarsa MN V, digunakan untuk melaksanakan khitanan bagi putra kerabat Mangkunegaran. Sejak pemerintahan MN VII Maligin diperkenankan untuk digunakan oleh Muhammadiyah sebagai tempat khitanan masyarakat umum.
- Menara, dibangun tahun 1926 pada masa MN VII. Digunakan untuk menyuarakan adzan, pada saat itu dibutuhkan 3-4 orang muadzin untuk adzan bersama-sama dalam menara ke 4 arah yang berbeda.
Saat ini Masjid Mangkunegaran bernama Masjid Al-Wustho, nama ini diberikan oleh Bopo Penghulu Puro Mangkunegaran Raden Tumenggung K.H. Imam Rosidi pada tahun 1949. Masjid Mangkunegaran merupakan masjid yang cukup unik karena di sini dapat dilihat hiasan kaligrafi Al-qur’an di berbagai tempat, seperti pada pintu gerbang, pada markis/Kuncungan, soko dan Maligin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar