Minggu, 28 Februari 2010

QUO VADIS EKONOMI POLITIK KEBIJAKAN EKONOMI INDONESIA: BISAKAH KITA BANGKIT?

   

Tidak ada seorangpun yang akan meragukan pernyataan bahwa Indonesia adalah sebuah negeri yang kaya. Sejak ribuan tahun lalu, Indonesia telah menjadi tujuan migrasi dari banyak bangsa-bangsa yang mencari kemakmuran. Bangsa-bangsa dari tanah Hindia, dataran Indocina dan dari berbagai negeri membuat perahu-perahu agar dapat sampai ke tanah impian mereka. Berabad-abad kemudian, Jawadwipa dan Swarnadwipa disebut-sebut dalam berbagai kitab sejarah di banyak negeri asing, dipuji-puji karena kekayaan alamnya. Namun itu semua tidak berarti apa-apa saat ini. Indonesia hari ini bergelut dengan berbagai permasalahan seperti kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, tindak kekerasan, korupsi, eksploitasi sumbr daya alam, dll. Kebijakan ekonomi pasca krisis belum menampakkan hasilnya yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada saat ini terdapat lebih dari 11 juta orang “penganggur penuh”, 6 juta lagi yang digolongkan “bukan pencari kerja”, dan 56 juta orang lainnya yang dipaksa menciptakan lapangan kerja sendiri, kebanyakan adalah pekerja informal. Angka resmi BPS ini bahkan lebih tinggi dari angka sebelum krisis. Jumlah penduduk miskin hampir mencapai 40 juta, itu seperlima dari jumlah total penduduk negeri ini. Di antara penduduk miskin ini, lebih dari 40%-nya adalah fakir miskin, yang artinya miskin absolut. Pemerintah selalu menyatakan bahwa kondisi yang memburuk ini adalah “harga” yang harus dibayar untuk pemulihan ekonomi. Tapi, yang harus kita pertanyakan adalah: mengapa “harga” ini harus dibayar oleh orang miskin? apakah dan siapakah yang keliru dalam masalah ini ?     
Begitupun kondisi hutang luar negeri Indonesia, hutang luar negerilah yang menjadi faktor dominan menentukan kenapa kondisi negara ini menjadi sedemikian terpuruk. Hutang luar negeri pemerintah adalah sumber pembiayaan pembangunan yang diperoleh dari lembaga keuangan multilateral maupun dari negara lain secara bilateral. Transaksi hutang luar negeri ini sudah berlangsung sejak tahun 1967. Melalui transaksi tersebut, sampai dengan tahun 2005 lalu, pemerintah sudah mendapatkan komitmen utang luar negeri sebesar 365.88 miliar dolar AS, namun belum semua dari komitmen tersebut bisa diserap oleh pemerintah. Sampai dengan tahun 2005, total komitemen yang sudah dicairkan baru sejumlah 162.13 miliar dolar AS, meskipun belum mencairkan semua komitmen hutang tersebut, tetapi pemerintah Indonesia tetap saja membuat komitmen hutang baru melaui forum kreditor untuk Indonesia yaitu CGI.    
Pembuatan hutang baru oleh pemerintah melalui forum CGI masih terus berlangsung sampai dengan tahun 2006 lalu. Perkembangan tahunan dari pembuatan komitmen hutang baru tersebut dapat dilihat pada tabel. Diantara sekian banyak kreditor yang ada, ternyata pemerintah selalu mendapatkan komitmen hutang hanya dari beberapa kreditor yang tergabung dalam CGI yaitu Austria, Jepang, Jerman, Spanyol, Korea Selatan, ADB dan IBRD. Rendahnya kemampuan pemerintah dalam menyerap utang tidak mempengaruhi kewajiban pembayaran cicilan pokok berikut bunganya. Sampai dengan akhir 2005 lalu pemerintah sudah melunasi hutang sebesar 100.31 miliar dolar AS. Dengan pembayaran tersebut pemerintah masih memiliki kewajiban untuk melunasi sisa hutang yang sudah dicairkan yaitu sebesar 61.82 miliar dolar AS.    
Posisi hutang luar negeri pemerintah Indonesia periode 1967 – 2005    
      Dalam miliar USD     Dalam Rp Triliun (9000/USD)     Dalam %    
Jumlah yang dicairkan     162.13     1.459.17     100%    
Jumlah yang dibayar kembali     100.31     902.83     62%        
Jumlah yang belum dibayar kembali     61.82     556.34     38%    
Sumber Data KAU     
Dalam makalah ini akan membahas bagaimana ekonomi politik kebijakan ekonomi Indonesia termasuk dalam hal kebijakan tentang hutang luar negeri dan apakah kita (masih) punya kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan ini, lalu apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut ?    
Kebijakan Ekonomi Poltik Indonesia : Sektor Primer, Sekunder dan Tersier    
Strategi pemulihan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintahan Indonesia pasca Soeharto sampai SBY, nampaknya semuanya merupakan strategi yang mengorbankan kelompok masyarakat yang lebih luas demi kepentingan segelintir orang atau kelompok yang lebih kecil tapi menguasai perekonomian Indonesia. Berbagai kebijkaan memang terdengar asing bagi masyarakat awam, namun merekalah yang paling terkena imbasnya dengan pemotongan tingkat kesejahteraan orang miskin melalui pengurangan subsidi, pengurangan nilai upah riil, penghancuran nilai tukar petani dan nelayan, dan penghapusan banyak kondisi kerja yang menguntungkan buruh. Sementara untuk kelompok yang lebih kecil tersebut, kita dapati pemerintah membayari hutang mereka, bahkan sampai pada tahap write-off (penghapusan hutang) dan R&D (Release and Discharge, pengampunan hutang), masih ditambah lagi adanya pemberian fasilitas pemotongan pajak dan tax holiday.     
Keputusan ekonomi yang diambil pemerintah Indonesia juga sebenarnya banyak merugikan perekonomian nasional dan semakin dalam menjebloskan negeri ini pada ketergantungannya terhadap modal asing. Keputusan untuk melakukan privatisasi konon didasarkan pada pertimbangan untuk menghapuskan “monopoli yang tidak perlu”. Tapi, mengapa yang diprivatisasi adalah justru perusahaan-perusahaan negara yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti penyediaan air minum dan telekomunikasi?     
Berbagai kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah terutama dari sektor industri dan perdagangan mengalami fase yang kadangkala bertolak belakang antara satu masa dengan masa lainnya. Pada periode 1945 – 1967, kebijakan nasionalisasi perusahaan bekas milik Belanda dilakukan dengan inward looking policy, sedangkan pada periode 1967 – 1974, kebijakan yang diambil bertolak belakang dengan sebelumnya, yakni outward looking , terjadi usaha yang cukup besar dalam meliberalisasi perdagangan dengan menghapus lisensi impor, mengurangi kontrol harga dll. Sedangkan ditahun 1974 – 1986, peristiwa Malari dan kenaikan harga minyak dunia memberikan arah kebijakan yang bertolak belakang, yakni usaha melindungi industri domestik yang dilakukan seiring dengan naiknya harga minyak, terjadi usaha import subsitution policy, terutama untuk industri dasar.    
Periode 1986 – 1992, ditandai dengan menurunnya harga minyak dunia yang menyebabkan pemerintah berupaya memicu ekspor non migas dengan serangkaian deregulasi, debirokrstisasi, dan liberalisasi. Lahir beberapa paket kebijakan ekonomi, termasuk pakto 88 yang menyebabkan sektor perbankan berkembang pesat. Periode ini ditandai oleh tarik-menarik antara kebijakan yang bersifat protektif yang berhadapan dengan usaha deregulasi dan liberalisasi, periode ini juga merupakan golden age dimana pertumbuhan yang tinggi dan inflasi yang terkendali dapat dilakukan.     
Sementara pada periode 1992 -1998, ditandai dengan beberapa kebijakan ambivalen karena tarik menarik kepentingan. Tampaknya secara fundamental ekonomi baik, namun dibaliknya ternyata sangat rapuh, ketika ada contagion effect dari Thailand dalam hal nilai tukar, Indonesia terkena krisis yang luar biasa mulai dari krisis nilai tukar, perbankan , ekonomi dan sosial hingga saat ini. Periode ini sangat terbuka dan outward oriented. Lalu kebijakan pada periode 1998 hingga sekarang masih juga bersifat outward oriented, dan yang sangat berperan adalah lembaga keuangan internasional dengan paket ekonominya yang memaksa Indonesia melakukan berbagai reformasi diantaranya desentralisasi politik dan fiskal ke daerah, restrukturisasi perbankan dan reformasi berbagai macam institusi.    
Ketergantungan pemerintah terhadap hutang juga tidak pernah reda. Peringkat kelayakan berhutang kita memang telah mengalami peningkatan, setidaknya menurut Standard & Poor yakni dari peringkat SD kini sudah di peringkat B+. Tapi hal ini hanya karena pemerintah menyedot dana masyarakat (termasuk yang seharusnya digunakan untuk subsidi) untuk membayar hutang ini. Dana yang dihemat dari pemotongan subsidi BBM terakhir, misalnya, lebih dari setengahnya masuk ke dalam pos pembayaran hutang luar negeri ini. Namun, peningkatan pembayaran hutang ini jadi percuma karena pemerintah telah meminta hutang baru sebesar USD 3,4 milyar dari negara-negara yang tergabung di CGI.     
Pemerintah selalu berdalih bahwa garis politik ekonomi ini perlu untuk menarik investor agar mau menanamkan modalnya di negeri ini. Dari pernyataan ini saja terlihat bahwa pemerintah ini sangat mendewa-dewakan para pemodal asing ini, seakan tanpa adanya pemodal asing ini seluruh perekonomian kita akan runtuh, akibatnya pemerintah kemudian juga enggan mengambil tindakan tegas pada para pemodal asing yang melanggar peraturan demi memeras super-profit dari bumi Indonesia, utamanya dalam kasus-kasus pencemaran lingkungan dan ketenagakerjaan. Garis politik-ekonomi inilah yang dikenal sebagai neoliberalisme.    
Pada tahun 2002, terdapat data yang menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB sebesar 4,38% ketika terjadi penurunan realisasi Modal Asing sebesar 35% dan Modal Domestik sebesar 57%. Kejadian ini seharusnya sudah menyadarkan kita bahwa Modal, terutama Modal Asing, bukanlah satu-satunya solusi bagi pemulihan ekonomi negeri ini.     
Mengenai pertumbuhan upah riil di Indonesia, sangat ditopang oleh kondisi kaum pekerja yang mulai membaik sejak tahun 1998, di mana ketika kaum pekerja mulai mendapatkan peningkatan upah riil. Secara total, pertumbuhan upah riil mencapai 46% bila dihitung dari tingkat upah riil tahun 1997. Tingkat konsumsi inilah salah satu hal yang menggelembungkan nilai PDB kita. Namun ironisnya, pemerintah seringkali menyalahkan peningkatan upah riil ini sebagai biang keladi dari enggannya pemodal asing untuk masuk menanamkan uang (investasi) di Indonesia. Oleh karena itu, berbagai kebijakan ekonomi politik yang tidak berpihak pada kesejahteraan kaum pekerja (buruh) mulai diluncurkan, dimulai dari Undang-undang no 13/2003 yang lebih dikenal sebagai Undang-undang Ketenagakerjaan, dan membenarkan sistem kerja kontrak berlaku di negara ini.     
Demikian pula halnya yang terjadi di sektor pertanian. Sejak tahun 1997, nilai tukar petani terus mengalami kecenderungan menurun. Sekalipun angka statistik masih menunjukkan ketidakstabilan, tapi garis trendnya tegas menunjukkan penurunan. Terlebih lagi ketika produk pertanian dari luar, yang superior dalam standard kualitas dan (seringkali) harga yang lebih murah karena negara-negara luar tersebut (negara kapitalis besar) yang menuntut kita menghapuskan subsidi itu malah terus meningkatkan subsidi untuk produk pertanian mereka. Memang benar, pada akhir 1980-an, Indonesia dapat mencapai status swa sembada beras, namun ternyata status itu dicapai dengan memeras tanah sampai daya dukungnya habis. Dengan mengintrodusir revolusi hijau (green revolution) memaksa petani untuk mengeksploitasi lahannya habis-habisan demi tercapainya “ketahanan pangan”. Selain itu kebijakan transmigrasi yakni memindahkan penduduk dari Pulau Jawa ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua (Irian Jaya) memang bertujuan untuk tercipta lahan-lahan pertanian baru.     
Namun, intensifikasi dan ekstensifikasi dalam sektor pertanian ini tidak disertai dengan perubahan yang mendasar pada struktur kepemilikan dan penggunaan tanah. Sampai tahun 2003 jumlah petani yang hanya memiliki lahan di bawah ½ hektar, mereka yang biasa disebut “petani gurem” masih mendominasi sektor pertanian Indonesia, yakni berjumlah 13,3 juta rumah tangga tani dan 74,9 % petani gurem ini berada di Jawa dan data juga menyebutkan 70% penduduk miskin di pedesaan ada di sektor pertanian. Di samping itu, rata-rata penguasaan tanah oleh keluarga petani justru mengalami penurunan sepanjang pemerintahan Orde Baru. Pada awal Orde Baru rata-rata satu keluarga tani menguasai 1,1 hektar lahan. Sedang di akhir kekuasaannya angka ini turun menjadi 0,8 hektar per keluarga tani.     
Dengan skala produksi yang kecil ini, bagaimana mungkin diharapkan adanya kemandirian usaha tani? Beberapa permasalahan lain disektor pertanian saat ini adalah semakin meningkatnya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, menurunnya ketersediaan air dan prasarana irigasi, rendahnya produktivitas dan mutu komoditas pertanian, dan rendahnya akses petani terhadap sumber daya produktif. Petani Indonesia pada masa itu memang berhasil mencapai swasembada pangan (beras) – namun bayarannya adalah ketergantungan pada teknologi pupuk dan alat pertanian lain, yang tidak dikuasai sendiri oleh para petani.     
Demikian pula dengan sektor kelautan, di mana sebagian besar nelayan masih hidup dari cara penangkapan ikan yang bersahaja – kalau tidak dapat dikatakan terbelakang dan berteknologi rendah, yang pola hubungan kerjanya masih tradisional – kalau tidak dapat dikatakan primitif. Sektor inipun juga saat ini mengalami penurunan kualitas hidup yang tajam. Nelayan tradisional yang modalnya pas-pasan semakin tidak sanggup membiayai ongkos melaut karena harga BBM semakin melonjak tinggi. Mereka juga semakin sulit mendapatkan tangkapan karena tingkat pencemaran wilayah pantai yang semakin tinggi, dan jika untuk melaut ke wilayah yang lebih jauh mereka tidak memiliki fasilitas untuk itu. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya kapal ikan asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia, dan jelas kapal mereka lebih modern dan sanggup menangkap ikan dalam jumlah yang lebih banyak, akibatnya nelayanpun semakin terjerat tengkulak dan tidak bisa lepas dari jeratan tersebut. Selain itu juga teridentifikasi adanya ketidaseimbangan tingkat pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan antar kawasan, adanya usaha sumber daya kelautan illegal dan merusak, belum optimalnya pengembangan perikanan budidaya, meningkatnya pencemaran lingkungan di kawasan pesisir dan ditambah lagi dengan belum lengkapnya regulasi dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan, termasuk soal penegakan hukumnya.     
Di awal pemerintahan Orde Baru telah ada kebijakan memberi jalan masuk pada perusahaan-perusahaan asing yang berkaitan dengan ekstraksi sumberdaya alam Indonesia (pertambangan) dengan UU Penanaman Modal Asingnya. Hasilnya minyak dan pertambang adalah sektor-sektor ekonomi produktif yang sampai sekarang dikuasai hampir sepenuhnya oleh modal asing. Jika saat ini kemudian disebutkan bahwa masalah dalam sektor pertambangan antara lain dikarenakan menurunnya peran migas dalam pendapatan dalam negeri karena sebahagian besar produksi dari lapangan minyak sudah tua, selain itu juga dikatakan menurunnya peran sumber daya mineral karena turunnya harga hasil tambang di pasar internasional, menurunnya investasi di sektor pertambangan karena tidak adanya kepastian hukum dan ekonomi berbiaya tinggi lainnya, selian itu juga dikatakan bahwa kegiatan pertambangan tanpa ijin (PETI) juga meningkat, itu tidak sepenuhnya benar karena jikapun produktivitas sektor pertambangan ini meningkat maka hasilnya tidak terlalu banyak berpengaruh bagi perbaikan ekonomi Indonesia karena hasil akumulasinya akan langsung pergi ke daerah pemilik modal yang berinvestasi tersebut.    
Disektor sekunder, untuk masalah para pedagang kecil di kota-kota, yang lebih dikenal dengan istilah pekerja informal, juga mengalami penggusuran atas nama ketertiban dan keamanan. Pemerintah yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan, pemerintah yang tidak mampu mengatasi kesenjangan desa-kota dan pusat-daerah, pemerintah yang tidak mampu menata kota agar layak dihuni, rakyat kecil yang disalahkan. Sementara itu, pengangguran juga semakin bertambah jumlahnya. Saat ini saja, dengan definisi BPS bahwa penganggur adalah mereka yang bekerja kurang dari satu jam sehari, setidaknya 10 persen penduduk Indonesia usia kerja dinyatakan resmi sebagai penganggur. Jumlah ini tentunya akan bertambah berlipat-lipat jika kita memakai standard “kurang dari delapan jam kerja sehari” sebagaimana layaknya seorang pekerja normal. Ajaibnya, pemerintah berusaha menangani masalah pengangguran ini dengan menerapkan sistem Ketenagakerjaan Fleksibel, yang mempermudah pengusaha untuk memberi upah murah, memperlakukan tenaga kerja di bawah standard kemanusiaan dan perburuhan yang diakui dunia, memperpanjang jam kerja dan memperlancar proses pemutusan hubungan kerja – terutama PHK massal. Bukannya berpikir bagaimana menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya, pemerintah malah mengambil langkah mau gampangnya sendiri, dengan melempar tanggung jawab pada sektor swasta, dengan konsesi lepas tangan dan tutup mata atas kesejahteraan rakyatnya yang bekerja membanting tulang demi sesuap nasi.    
Struktur industri yang dibangun Orde Baru sangat rapuh dan bercirikan pada tidak mengandalkan kemampuan sendiri, melainkan bersandar pada industri padat modal – yang pada gilirannya membuahkan ketergantungan pada modal asing, baik dalam bentuk bantuan dana maupun keahlian. Pada masa itu Indonesia kemudian mengkampanyekan tenaga kerja murah. Dengan berkembangnya pola hubungan produksi post-Fordism di negara kapitalis Dunia Pertama dan Kedua membuat mereka mulai mencari negara-negara miskin untuk dijadikan “sasaran investasi” – yang pada hakikatnya bermakna relokasi pabrik-pabrik mereka, pemecahan unit usaha menjadi lebih kecil, dan kembalinya sistem hubungan kerja menjadi sistem kontrak. Pemerintah kita dengan tangan terbuka menyambut dan dengan bangga menyebutkan buruh murah sebagai “keunggulan komparatif” Indonesia.     
Sektor sekunder dicirikan dengan proses industrialisasi antara lain adanya efisiensi produksi, nilai tambah yang tinggi dan pemasaran yang meluas hingga keluar negeri. Dalam kerangka transformasi struktural, yakni adanya proses alokasi meningkatnya peran industri (khususnya manufaktur) dan perdagangan internasional dalam pendapatan nasional. Beberapa permasalhan lain disektor industri selain yang disebutkan diatas yakni industri belum mampu menjadi penggerak pembangunan ekonomi, tidak adanya pola keterkaitan yang kuat antara sektor industri sendiri maupun antara sektor industri dengan sluruh jaringan sektor produsksi dan distribusi, KKN dan layanan umum yang buruk mengakibatkan tingginya biaya overhead, administrasi perpajakan yang belum optimal, kandungan impor yang tinggi, lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi, rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terpusatnya industri di pulau Jawa.    
Untuk masalah perdagangan dalam negeri, kita melihat bahwa tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung oleh dunia usaha secara langsung menurunkan daya saing produk ekspor, masih rendahnya penggunaan produk dalam negeri, baik oleh industri maupun konsumen, belum optimalnya pemanfaatan mekanisme bursa berjangka komoditi sebagai sarana headging price discovery dan investasi, belum optimalnya pelaksanaan dan penerapan perlindungan konsumen, maraknya ekses pelaksanaan otonomi daerah yang banyak menghambat kelancaran distribusi barang dan jasa, keterbatasan dan rendahnya kualitas infrasruktur dan jaringan komunikasi serta masih belum terintegrasinya sistem jaringan koleksi dan distribusi nasional yang kurang mendukung peniongkatan daya saing ekspor.    
Disektor jasa lainnya misalnya transportasi kita melihat kendala umum yang dihadapi meliputi aspek kapasitas, kondisi, jumlah dan kuantitas prasarana dan sarana fisik, kelembagaan dan peraturan, sumber daya manusia, teknologi, investasi, manajemen, operasi dan pemeliharaan. Di sektor pariwisata belum pulihnya citra keamanan nasional dan belum optimalnya pengelolaan pemasaran, pengembangan dan pengelolaan tujuan wisata, tidak efektifnya pengelolaan informasi wisata dan masih belum memadainya sarana dan prasarana pendukung dan pengembangan industri pariwisata menjadi sederet masalah juga yang harus diselesaikan.    
Pembangunan Industri Nasional yang Kuat: Sebuah Alternatif dalam Kebijakan Ekonomi Indonesia    
Tingkat kemajuan ekonomi suatu negara ditentukan oleh kemajuan industri negara tersebut. Artinya suatu negara akan mampu memaksimalkan kapasitas produksi tenaga produktif jika negara tersebut telah menempuh fase transisi dari perekonomian yang berbasis pertanian menuju perekonomian yang berbasis industri. Jika kita membandingkan antara ketiga sektor yakni industri, jasa, dan pertanian, sektor yang terakhir menunjukkan kurva yang semakin menurun. Tapi untuk sektor industri dan jasa semakin menunjukkan peningkatan dalam hal kapasitas utilitas produksinya. Artinya tenaga produktif dari kedua sektor tersebut belum dieksplorasi secara maksimal. Sementara sektor pertanian semakin tergusur oleh gencarnya ekspansi kedua sektor tesebut, satu hal yang ditunjukkan oleh makin berkurangnya kapasitas produksi karena semakin berkurangnya lahan pertanian dan terjadinya transformasi tenaga kerja secara besar-besaran dari petani menuju buruh/buruh tani.     
Kebijakan pemerintah yang saat ini lebih mengutamakan penguatan sektor perbankan dan aspek-aspek moneter tetap belum juga menunjukkan keberhasilan karena sampai hari ini masih banyak bank-bank yang bermasalah mulai dari persoalan minimnya Giro Wajib Minimun (GWM) hingga maraknya kredit macet. Bahkan Aburizal Bakrie, menteri kesejahteraan rakyat saat ini, sedang terlilit kredit macet terhadap Bank Mandiri dengan nilai trilliunan rupiah.     
Kekayaan sumberdaya alam dan energi alternatif serta besarnya tenaga produktif (manusia) akan menjadi modal yang cukup untuk mengembangkan sektor industri nasional. Masih banyaknya angkatan kerja yang menganggur akibat terbatasnya kemampuan perekonomian negara untuk menyerap tenaga kerja akan terjawab jika industri nasional diperkuat. Industri nasional yang diperkuat, maksudnya adalah industri yang mandiri, yakni industri nasional yang tidak tergantung pada neoliberalisme dan pasar bebas. Industri yang tidak menggantungkan pada bahan baku impor dan tidak didikte oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, WB, CGI, dsb. Industri yang kuat, yakni industri yang ditopang oleh industri dasar dan industri barang modal dan keseluruhan dari tenaga produktif yang kita miliki. Industri yang modern, yakni industri nasional yang memanfaatkan kemajuan teknologi abad 21 untuk meningkatkan kualitas produk nasional agar dapat memenuhi kebutuhan 210 juta masyarakat Indonesia. Industri yang mampu mengorganisir keseluruhan tenaga produktif secara efisien dan efektif dengan kemampuan manajerial yang modern dan populis.    
Pembangunan industri nasional kita harusnya berangkat dari pembangunan basis produksi. Jika kita melihat laporan BI tahun 2004 menunjukkan bahwa sebesar 80% pertumbuhan eknomi adalah sumbangan dari sektor konsumsi. Sementara investasi hanya menyumbang 16% dan sisanya 4% dari kegiatan ekspor. Minimnya kapasitas basis produksi kita tercermin dari kapasitas produksi yang baru mencapai 70% dari kapasitas terpasang. Artinya masih ada 30% lainnya yang menganggur (idle capacity). Hal tersebut masih diperparah dengan makin hancurnya sektor korporasi yakni industri TPT (Tekstil Produk Tekstil) sebagai akibat dari invasi produk TPT dari China dan penghapusan sistem MFA.    
Pembangunan industri nasional yang kuat memiliki beberapa tahapan antara lain, pertama, pembangunan industri dasar, antara lain industri logam (baja), industri listrik, energi, kimia dasar, dsb guna menjamin ketersediaan bahan baku dan bahan bakar industri, kedua, pembangunan industrialisasi pertanian guna menjamin ketersediaan pangan bagi rakyat., ketiga, pembangunan industri barang-barang modal, yakni industri mesin-mesin, industri pengangkutan, dsb dan keempat, pengembangan industri barang-barang konsumsi    
Tahapan pembangunan di atas adalah sangat menekankan pada aspek produksi, sedangkan aspek konsumsi adalah sekunder. Hal ini menjadi antitesis bagi ekonomi indonesia saat ini yang hanya menggantungkan pertumbuhan ekonomi dari sektor konsumsi saja. Kondisi ini hanya akan mengakibatkan terkurasnya dana masyarakat yang seharusnya digunakan untuk produksi.    
Penghapusan Utang Haram (Oudius Debt) dan Tidak Sah (Illegitimate Debt)    
Sejak lama Negara-negara di dunia ketiga, termasuk Indonesia menanggung beban utang besar yang diwarisi oleh rezim yang tidak bertanggung jawab. Kebijakan penyaluran utang yang mulai marak sejak tahun 1970 – 1980-an, mengharuskan lembaga keuangan internasional melihat peluang bagi ketahanan ekonomi negara-negara maju. Peningkatan harga minyak yang luar biasa, telah menjadikan proyek pembiayaan industri-industri ekstaktif, terutama minyak dan gas di negara dunia ketiga, sebagai primadona bagi kreditor untuk menemukan cadangan minyak baru di luar negara-negara yang menjadi kartel OPEC. Di samping latar belakang politik untuk menghadang pengaruh gerakan komunisme di dunia ketiga pasca perang dingin.     
Kedua motif tersebut tidaklah menghalangi para kreditor mengucurkan utang yang sangat besar, meskipun kepada rezim diktator yang tengah berkuasa di hampir semua negara di dunia ketiga. Bahkan, ditenggarai pihak kreditor menjadi salah satu kekuatan penyokong bertahannya rezim-rezim “anti komunis” tersebut. Akibatnya banyak dari proyek-proyek utang disalahgunakan. Penyalahgunaan tersebut antara lain adalah pembelian senjata untuk melumpuhkan kekuatan opisisi, proyek-proyek yang tidak bermanfaat, serta praktek korupsi hasil kerjasama dengan para konsultan lembaga-lembaga pemberi utang.    
Akibat yang paling parah adalah penerapan kebijakan ekonomi neoliberalisme yang dipaksakan oleh pihak kreditor. Bagian ini menyumbang kerusakan yang sangat mendasar dan luas, karena dampak yang ditimbulkan adalah perubahan bangunan sistem ekonomi nasional yang menjadi pelayan kebutuhan industri negara-negara maju.     
Hingga akhirnya semua beban utang itu bertumpuk, dan ditanggung oleh generasi yang tidak semestinya bertanggung jawab. Data yang diperoleh dari terbitan Bank Dunia (Global Development Finance) tahun 2000 memperlihatkan kondisi krisis beban utang yang teramat parah. negara-negara berkembang pada tahun 1999 memiliki utang lebih dari US 100 miliar. Negara-negara tersebut meliputi Argentina (147,8 miliar dolar), Brasil (244,7 miliar dolar), Cina (154,2 miliar dolar), Indonesia (150,1 miliar dolar) dan Rusia (174,9 miliar dolar).    
Diperlukan sebuah langkah maju mengatasi situasi ini. Saatnya kita menghentikan siklus penghisapan negara-negara dunia ketiga oleh negara-negara maju. Pembayaran utang lama yang besar, serta proyek-proyek utang baru yang menghancurkan ekologi dan berkontribusi pada kehancuran iklim di negara-negara dunia ketiga mutlak dihentikan. Pararel dengan itu, saatnya pihak kreditor mendukung pembangunan yang adil dan berkelanjutan dengan menghentikan segala bentuk skema utang baru yang semakin memperparah kondisi kehidupan rakyat di negara-negara dunia ketiga.    
Hal tersebut kemudian dapat ditindaklanjuti dengan pemberian skema penghapusan 100% utang luar negeri negara-negara dunia ketiga tanpa syarat. Penghapusan segala bentuk utang haram (oudius debt) dan utang-utang yang tidak sah (Illegitimate debt) ini merupakan beban yang harus ditanggung oleh negara-negara industri maju atas besarnya keuntungan yang mereka sudah dapatkan dari proses eksploitasi yang dilakukan di negara berkembang selama ini, termasuk yang terjadi di Indonesia.    
Posted in ekonomi politik, politik, rakyat pekerja    
« Conditional Cash Transfer: Pembelajaran dari Amerika Latin untuk Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia    
Cabut PP No.2 Tahun 2008, Demi Kehidupan Anak Cucu Kita »    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar